Baca Juga :
Apa itu Mahkamah Konstitusi ?
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Penjelasan Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar
Dapat dikatakan bahwa kewenangan pengujian undang-undang menjadi kewenangan paling penting karena kewenangan ini langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Artinya ketika masyarakat merasa hak konstitusionalnya dilanggar/dirugikan oleh suatu undang-undang, bahkan “sekadar” berpotensi dilanggar/dirugikan oleh suatu undang-undang, mereka dapat langsung mengajukan permohonan kepada MK agar suatu undang-undang diuji konstitusionalitasnya (terhadap UUD 1945).
Pengujian undang-undang secara formil dan materiil.
Terdapat dua jenis pengujian undang-undang yang dapat dilakukan oleh MK, yaitu pengujian formil dan pengujian materiil. Pengujian formil adalah pengujian suatu undang-undang dilihat dari proses/prosedur pembentukannya. Dalam jenis pengujian ini MK menilai apakah pembentukan suatu undang-undang telah mengikuti proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur oleh UUD 1945 dan undang-undang yang diperintahkan pembentukannya oleh Pasal 22A UUD 1945. Beberapa ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai proses pembentukan undang-undang adalah Pasal 5 ayat (2), Pasal 20, Pasal 22A, dan Pasal 22D.
Adapun pengujian materiil adalah pengujian materi atau norma undang-undang yang dinilai apakah bertentangan dengan norma UUD 1945 atau tidak. Jika bertentangan maka norma undang-undang dimaksud oleh MK akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebaliknya jika MK tidak menemukan adanya pertentangan antara norma undang-undang yang diuji dengan norma UUD 1945 maka MK akan menyatakan menolak permohonan (para) Pemohon, yang artinya norma undang-undang yang diuji tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 dan karenanya tetap berlaku serta mengikat.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
Sengketa yang dapat menjadi obyek pengujian di MK hanyalah sengketa mengenai kewenangan (pokok) lembaga bersangkutan. Merujuk unsur keempat pada frasa “memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, yaitu unsur “kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,“ maka kewenangan sebagai obyek sengketa pun masih dibatasi lagi hanya berupa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945.
Kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 (sebagai konstitusi) kepada lembaga negara disebut sebagai kewenangan konstitusional. Hanya kewenangan konstitusional demikian yang dapat diajukan sebagai obyek SKLN di hadapan MK. Adapun kewenangan selain yang tercantum dalam UUD 1945 secara teoritis bukan merupakan obyek SKLN. Hal demikian selaras dengan keberadaan MK yang bertindak sebagai peradilan konstitusional, yaitu peradilan bagi perkara-perkara konstitusional dengan kewenangan menafsirkan konstitusi.
Kewenangan lembaga negara itu sendiri, selain bersumber dari UUD 1945 juga dapat berasal dari undang-undang. Terdapat lembaga negara yang pembentukan dan kewenangannya diatur di level undang-undang. Kewenangan lembaga negara yang berasal dari undang-undang tentu tidak dapat diajukan sebagai obyek SKLN di MK.
Jika mencermati lembaga-lembaga negara yang ada di dalam UUD 1945, secara sederhana dapat dilakukan pengelompokan sebagai berikut:
a. Lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut jelas/tegas dalam UUD 1945;
b. Lembaga negara yang namanya disebut dalam UUD 1945 namun kewenangannya tidak; dan
c. Lembaga negara yang kewenangannya disebut jelas/tegas namun namanya tidak.
Bagi suatu lembaga negara yang namanya disebut jelas/tegas dalam UUD 1945 namun kewenangannya tidak diuraikan dalam UUD 1945, sudah tentu kewenangan lembaga tersebut bukan termasuk obyek SKLN.
3. Memutus pembubaran partai politik
Hak untuk mendirikan partai politik adalah bagian dari hak berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Keberadaan dan kebebasan partai politik rawan untuk dipermasalahkan/dibubarkan oleh partai politik berkuasa sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan.
Dengan diletakkannya jaminan bagi keberadaan partai politik di dalam konstitusi, diharapkan keberadaan partai politik akan lebih stabil dan terlindungi. Namun di sisi lain tetap harus ada mekanisme pembubaran bagi partai politik yang keberadaannya mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agar partai politik tidak rentan dibubarkan karena alasan politis, sekaligus di sisi lain partai politik tidak memanfaatkan perlindungan konstitusional ini untuk kepentingan yang bertentangan dengan tujuan NKRI, maka dibutuhkan suatu pengadilan konstitusional yang kepadanya diberikan kewenangan membubarkan partai politik.
Kewenangan pembubaran partai politik tidak diatur lebih jauh dalam UUD 1945, melainkan di dalam UU MK. Dalam UU MK diatur bahwa Pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah. Permohonan pembubaran partai politik harus menguraikan mengenai ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik tertentu yang dianggap oleh Pemohon (Pemerintah) bertentangan dengan UUD 1945. Dari sini MK akan menilai kesesuaian ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik tertentu terhadap UUD 1945.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Perselisihan atau sengketa hasil pemilihan umum bukan hal baru. Konsep pemilihan umum (pemilu) dan potensi perselisihan yang bersumber pada perbedaan pendapat mengenai hasil pemilu sudah muncul sejak pemilu pertama diadakan. Kebaruan terkait perselisihan ini adalah diangkatnya upaya penyelesaian sengketa ini sebagai upaya yudisial (peradilan) yang kewenangan untuk memutus diserahkan kepada MK.Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk ... memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Hasil pemilihan umum yang dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jika ditafsirkan secara sistematis, yaitu dengan merujuk pada ketentuan lain dalam UUD 1945, akan mengarah pada Pasal 22E UUD 1945 terutama ayat (2).
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa sebenarnya kewenangan awal MK terkait penyelesaian perselisihan hasil Pemilu hanya untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif (yang meliputi Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD).
Perselisihan hasil pemilihan umum terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu karena perbedaan pendapat mengenai hasil pemilu. Hasil pemilu tidak lain adalah hasil penghitungan suara yang berujung pada penetapan peringkat perolehan suara bagi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, atau perolehan kursi bagi calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan membaca Pasal 24C ayat (1) junctis Pasal 6A dan Pasal 22E UUD 1945 maka konstruksi perselisihan hasil Pemilu adalah antara komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu yang terdiri dari i) partai politik peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD; ii) perseorangan peserta Pemilu Anggota DPD; dan iii) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
4.a Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Pada 2008, kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum yang semula hanya meliputi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum legislatif, kemudian diperluas meliputi juga pemilihan umum kepala daerah.34 Setelah mengalami berbagai perubahan dasar hukum MK saat ini memiliki kewenangan (sementara) untuk menyelesaikan sengketa/perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.
Kewenangan demikian bermula dari Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon diajukan ke MA. Kemudian Pasal 236C UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur bahwa, “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Pengalihan demikian secara nyata mulai dilaksanakan dengan ditandatanganinya Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili oleh Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi pada 29 Oktober 2008.
Kewajiban Mahkamah Konstitusi
Kewajiban Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “... memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.
Kewajiban memberi putusan atas pendapat DPR demikian muncul ketika DPR mengajukan kepada MK semacam pendapat atau “dakwaan” bahwa Presiden/Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun dugaan bahwa Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden.
Tugas MK terkait kewajiban ini hanya menilai apakah terbukti atau tidak pendapat DPR mengenai i) dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden/Wakil Presiden, atau ii) dugaan bahwa Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden. Penilaian MK dituangkan dalam Putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Andai MK memutus bahwa Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, atau Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat untuk menjabat, selanjutnya DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden.
Penting untuk dicatat bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden dilakukan oleh MPR atas usul DPR dengan mendasarkan pada putusan MK yang menyatakan bahwa Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat jabatan.
Catatan berikutnya adalah, karena pemberhentian Presiden/Wakil Presiden merupakan keputusan MPR atas usul DPR, yang usulan dan proses demikian berada di ranah politik, maka ada kemungkinan Presiden/Wakil Presiden tetap menjabat meskipun Putusan MK menyatakan Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat jabatan.
Sumber Referensi :
Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Dr. Mardian Wibowo, S.H., M.Si., Kepaniteraan dan Setjen MKRI
Lawvios
![]() |
Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi |
COMMENTS