Baca Juga :
Awal mula keberadaan Komisi Yudisial dimulai pada saat pengesahan dan penetapan amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Ketika itu, salah satu poin penting yang berhasil diwujudkan adalah pembentukan Komisi Yudisial (KY).
Sebagai lembaga baru, keberadaan KY diharapkan dapat memperbaiki kondisi peradilan. Selain itu, keberadaan KY juga merupakan perwujudan prinsip checks and balances, yaitu bertindak selaku pengawas “eksternal” Mahkamah Agung (MA). Tujuannya adalah agar MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang tertinggi di dalam melaksanakan fungsi organisatoris, administratif, dan finansial tidak bertindak sewenang-wenang dan bisa lebih berhati-hati di dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut, serta fungsi judisialnya.
Agar pelaksanaan dua kewenangan yang diatur di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bisa berjalan dengan baik, maka pada tahun 2004 DPR kemudian telah mengesahkan UU tentang Komisi Yudisial yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004. Pada UU No. 2 Tahun 2004 kewenangan KY diatur dalam Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004, yaitu “Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan
b) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 UU No. 22 Tahun 2004. Untuk wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim dijabarkan dalam ketentuan Pasal 205 Pasal 216 Pasal 227 dan Pasal 238 yang mengatur mengenai tugas KY, mulai dari melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan MA dan/atau MK, hingga melakukan pengusulan penjatuhan sanksi jika ada hakim pada MA dan/atau MK yang terbukti melakukan pelanggaran penegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Selain tugas tersebut, KY juga mempunyai tugas melakukan pengusulan pemberian penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim kepada MA dan atau MK.
Dua tahun setelah UU No. 22 Tahun 2004 diundangkan, kewenangan-kewenangan itu kemudian “dikebiri” melalui Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006. Tepat pada tanggal 16 Agustus 2006, Majelis Hakim MK melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian, Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi”, Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi”, Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi”, UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan berdasar fakta di atas, pemerintah kemudian mengusulkan kepada DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 22/2004. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kewenangan KY dan dalam rangka melakukan sinkronisasi maupun harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman.
Belum juga penguatan kewenangan KY dilakukan melalui perubahan UU tentang KY itu sendiri, di tahun 2009 pemerintah melalui Perubahan UU Kekuasaan Kehakiman dan 3 UU Badan Peradilan yaitu Perubahan UU Peradilan Umum, Perubahan UU Peradilan Tata Usaha Negara, dan Perubahan UU Peradilan Agama melakukan penguatan kewenangan KY.
Penguatan kewenangan dilakukan dengan memberikan kewenangan tambahan kepada KY. Kewenangan tambahan itu adalah menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi melakukan mutasi hakim dan melakukan seleksi pengangkatan hakim bersama MA.
Pada tahun 2011 lewat Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial kewenangan KY kembali bertambah. Jika kita cermati, beberapa pasal yang terdapat dalam UU perubahan KY yang diberi nama UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial secara tegas memperkuat kewenangan KY.
Penguatan terhadap kewenangan KY diatur dalam Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 yang berbunyi, “Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b) Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c) Menetapkan Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d) Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim”.
Kewenangan tersebut masih diperkuat dengan ketentuan Pasal 20 UU No. 18 Tahun 2011 yang menyatakan:
(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim;
c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim; dan
e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat;
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas
mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
(3) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal
adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
Pada tahun 2015, tugas KY kembali “dihilangkan” oleh MA. Melalui putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh beberapa hakim agung yang tergabung dalam IKAHI menyatakan tugas KY dalam melakukan seleksi pengangkatan hakim sebagaimana diatur dalam 3 UU Badan Peradilan dinyatakan inkonstitusional.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tugas dan fungsi KY yang terkait dengan hakim di lingkungan MA adalah sebagai berikut.
Tugas, Fungsi, Kewenangan Komisi Yudisial
1 Mengupayakan peningkatan kapasitas;
2 Menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi melakukan mutasi hakim;
3 Mengupayakan peningkatan kesejahteraan hakim;
4 Melakukan pemantauan terhadap perilaku hakim;
5 Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim :
a. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
b. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
c. meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
6 Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat;
7 Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Demikian Penjelasan terkait dengan Tugas, Fungsi dan Kewenangan dari Komisi Yudisal RI. Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka :
Elza Fais dkk., Risalah Komisi Yudisial: Cikal Bakal, Pelembagaan, dan Dinamika Wewenang, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta, 2012, hlm. 13;
Farid, Wajdi Tugas, Fungsi, Dan Kewenangan Komisi Yudisial Republik Indonesia. Prosiding: Sinergitas Mahkamah Agung Dan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Excellent Court, 2017
Tim Lawvios
COMMENTS