Baca Juga :
![]() |
Arti Justice Collaborator dan Dasar Hukumnya |
Istilah Jusctice Collaborator belakangan ini santer terdengar khususnya dalam penanganan kasus pidana tertentu, sebagaimana dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Bharada E sebagai salah satu tersangka dalam kasus tersebut mengajukan diri menjadi Justice Collaborator.
Selain kasus tersebut diatas, ada juga kasus lain di Indonesia yang memunculkan pihak yang bertindak sebagai Justice Collaborator, yakni :
1. Vincent dalam Kasus Penggelapan Pajak Asian Agri Group;
2. Agus Condro dalam Kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia;
3. Irman dan Sugiharto dalam Kasus Korupsi Pengadaan E-KTP;
4. Tommy Sumardi dalam Kasus Korupsi pengalihan Hak Tagih Bank Bali;
5. Matheus Joko dalam Kasus Korupsi Bantuan Sosial Covid-19.
Apa itu Justice Collaborator ?
Justice Collaborator merupakan pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius hingga mendapatkan pelaku utama dari kasus tersebut. Tindak Pidana yang dimaksud adalah Pembunuhan, Korupsi, Terorisme dan Kasus Pidana Terorganisir.Istilah Justice Collaborator sendiri pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an, dimana pada masa itu ada kebiasaan mafia yang kerap untuk tutup mulut jika sudah ditangkap, atau dengan sebutan lain omerta yang berarti sumpah tutup mulut. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan bagi mafia yang mau membuka informasi, akan diberikan fasilitas Justice Collaborator berupa perlindungan Hukum.
Istilah Justice Collaborator ini kemudian muncul pada Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, Pasal 37, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
1. Bukan pelaku utama atas tindak pidana yang sedang bergulir proses hukumnya;
Istilah Justice Collaborator ini kemudian muncul pada Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, Pasal 37, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Syarat Menjadi Justice Collaborator
Syarat seseorang dapat bertindak menjadi Justice Collaborator adalah sebagai berikut :1. Bukan pelaku utama atas tindak pidana yang sedang bergulir proses hukumnya;
2. Harus mengakui kejahatan atau perannya dalam kasus tersebut;
3. Bersedia bersaksi dalam pengadilan.
Secara lengkap ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, yakni :
Secara lengkap ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, yakni :
1.Yang bersangkutan merupakan
salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini,
mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan
tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;
2. Jaksa
Penuntut Umum di dalam tuntulannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah
memberikan keterangan dan bukti- bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik
dan/atau penuntut umum dapat mengungkap lindak pidana dimaksud secara efeklif,
mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/alau
mengembalikan asel-aset/hasil sualu tindak pidana;
Dasar Hukum Justice Collaborator
Di Indonesia Justice Collaborator diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah :
1. Undang-undang nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011;
3. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan LPSK tentang perlindungan bagi pelapor, dan saksi pelaku yang bekerjasama.
Manfaat atas Resiko Menjadi Justice Collaborator
Menjadi seorang Justice Collaborator sebenarnya menimbulkan banyak resiko terhadap pribadinya, karena berdasarkan keterangannya kasus pidana bisa terungkap. Sehingga dengan resiko tersebut seorang Justice Collaborator akan mendapatkan perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Selain itu inilah manfaat yang akan diperoleh jika menjadi Justice Collaborator :
1. Pemmisahan tempat penahanan;
Selain itu inilah manfaat yang akan diperoleh jika menjadi Justice Collaborator :
1. Pemmisahan tempat penahanan;
2. Pemisahan tempat bersaksi;
3. Pemisahan tempat proses penyidikan;
4. Keringanan masa tahanan.
Secara lengkap dapat dilihat dalam Pasal 10 undang-undang nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban :
Pasal 10
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/ataulaporan yang akan, sedang,atau telah diberikannya,kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalamhal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hinggakasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputusoleh pengadilan danmemperolehkekuatan hukum tetap.
8. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
(2) Penanganansecara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutanatas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
c. memberikan kesaksian di depan persidangantanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
(3) Penghargaanatas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. keringanan penjatuhan pidana; atau
b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
(4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidanasebagaimana dimaksud pada ayat (3)huruf a,LPSK memberikan rekomendasisecara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.
(5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)huruf b, LPSK memberikan rekomendasisecara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 10
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/ataulaporan yang akan, sedang,atau telah diberikannya,kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalamhal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hinggakasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputusoleh pengadilan danmemperolehkekuatan hukum tetap.
8. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
(2) Penanganansecara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutanatas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
c. memberikan kesaksian di depan persidangantanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
(3) Penghargaanatas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. keringanan penjatuhan pidana; atau
b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
(4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidanasebagaimana dimaksud pada ayat (3)huruf a,LPSK memberikan rekomendasisecara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.
(5) Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3)huruf b, LPSK memberikan rekomendasisecara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Peran Justice Collaborator sangat dibutuhkan dalam kasus pidana apapun untuk mengungkap kebenaran yang ditutupi demi kepentingan kelompok tertentu.
Tim Dictum Lawvios
*Download Undang-Undang nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
*Download Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011
COMMENTS